K. H. Ahmad Dahlan dan
Pemikirannya Tentang
Pendidikan*
Pendidikan merupakan hal terpenting pada setiap orang karena dengan
pendidikan orang bisa mencapai kualitas dalam hidupnya. Dan dengan pendidikan
pula kita bisa menciptakan manusia-manusia yang berakhlak baik dan cerdas. Kini
pendidikan dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Banyak perubahan
yang terjadi dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, banyak pula tokoh-tokoh
yang memperjuangkan pendidikan.
Salah satu tokohnya adalah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah seorang
tokoh pergerakan nasional yang mempunyai peranan penting bagi bangsa Indonesia.
Dan juga sebagai pelopor lahirnya organisasi Muhammadiyah, yang menyerukan agar
kaum muslim kembali pada Islam yang murni dan menafsirkan unsur-unsur
kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam. Semenjak
didirikan, oragnisasi ini
banyak bergerak di bidang pendidikan.
K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwis, lahir di
Yogyakarta 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923.[1]
Nama Ahmad Dahlan diperoleh dari gurunya pada ijazah kelulusan di Mekkah. Beliau adalah putera keempat dari
tujuh bersaudara.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji
dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Di sinilah
K.H. Ahmad Dahlan menuntut ilmu agama Islam, seperti kiraat, tauhid, fiqih,
tasawuf, ilmu mantik, dan ilmu falak.[2]
Kiraat adalah ilmu yang berkaitan dengan Al Qur’an, yang mengajarkan bagaimana
menyebut ayat-ayat Al Qur’an. Tauhid adalah konsep agama Islam yang menyatakan
Allah itu satu (esa). Ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari hukum Allah
yang digali dari dalil-dalil yang jelas. Ilmu tasawuf ini berhubungan dengan
akhlak dan jiwa manusia. Ilmu mantik disebut juga ilmu logika, sedangkan ilmu
falak itu seperti ilmu astronomy yang mempelajari lintasan-lintasan benda
langit.
Sepulangnya dari Mekkah ia membantu
ayahnya mengajar santri-santri di kampungnya. Dan gelar Kyai Haji pun serta
merta disandangnya, pada tahun 1896. Karena kepandaian dan ilmunya lah yang
menjadikan ia pantas mendapatkan gelar itu.
Melihat kebanyakan rakyat mederita,
tak berpendidikan dan miskin. Dan dunia pendidikan juga telah dipengaruhi oleh
penjajah demi kepentingan mereka dan kelangsungan hidup mereka di bumi pertiwi.
Sehingga rakyat memandang bahwa sekolah sebagai tradisi umat kafir dan
Kristiani. Dari hal itu K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk melakukan
pembebasan umat dari kebodohan dan kemiskinan. Karena kebodohan dan kemiskinan
inilah yang membawa umat menjadi menderita, dan tidak mampu berpikir secara rasional,
sehingga umat yang miskin percaya bahwa penyakit yang dideritanya adalah akibat
“lelembut” yang marah.
Inilah yang melatarbelakangi
perlunya didirikan lembaga-lembaga pendidikan melalui wadah organisasi
Muhammadiyah. Menurut Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat
Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada
skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas,
kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupannya pada masa depan. Dengan demikian bersama organisasi
Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan menekankan perbaikan hidup beragama dan
menggiatkan amal-amal pendidikan dan sosial.[3]
Adapun
kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah kembali kepada Al-Qur'an dan
hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif (memahami isi ajaran Islam secara kesluruhan) agar
tidak salah tafsir sehingga benar-benar berada pada Islam yang hakiki dan
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis juga dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan
ini merupakan kerangka filosofis untuk merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik
secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).[4]
K.H. Ahmad Dahlan pun mendirikan
rumah sakit dan sekolah gratis. Sekolah yang pertama didirikannya bertempat di ruang tamu rumahnya
sebagai ruang kelas. Fungsi lembaga pendidikan ciptaan Ahmad Dahlan adalah
sebagai berikut : [5]
1. Sebagai alat dakwah, baik ke dalam
maupun ke luar anggota organisasi Muhammadiyah.
2. Tempat pembibitan dan pembinaan
kader, yang dilaksanakan secara sistematis dan selektif sesuai dengan
kebutuhan.
3. Merupakan wahana untuk melaksanakan
amal para anggota organisasi.
4. Mensyukuri nikmat Allah, artinya apa
pun kemampuan anak-anak, pendidik harus memberi kesempatan untuk berkembang,
menjaga, dan merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Jika dulu wawasan masyarakat pribumi
sangat terbatas, karena mereka hanya dididik membaca dan menulis. Dan ilmu
pengetahuan umum tidak diajarkan di pesantren,[6]
sekarang di sekolah ini diajarkan bukan hanya ilmu agama saja, melainkan
ilmu-ilmu umum juga seperti berhitung, ilmu bumi (suatu
istilah untuk kumpulan cabang-cabang ilmu yang
mempelajari bumi) dan ilmu yang mempelajari tubuh manusia (anatomi). Mengapa
pembelajaran pada sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan ilmu
agama dan ilmu umum? Ini dikarenakan pendidikan di Indonesia saat itu terpecah
menjadi dua, yakni pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan agama dan
pendidikan barat yang sekuler (memisahkan urusan agama dengan ilmu umum). Padahal,
pendidikan yang bermakna itu harus sejalan dengan ilmu lain.
Dua sistem pedidikan yang berbeda
ini menyebabkan pendidikan yang makin terpisah. Pendidikan dalam pesantren yang
terlalu menutup diri dari dunia luar mengakibatkan semakin ketinggalan zaman
dan wawasan yang diperoleh tidak berkembang karena hanya sesuai dengan wawasan
yang dimiliki oleh sang guru saja, tidak dinekali dengan pemikiran yang lain. Di
sisi lain, pendidikan barat sama sekali tidak memasukkan pendidikan
keagamaan ke dalamnya. Sekolah-sekolah ini menjadi sebuah masyarakat tersendiri
yang terlepas dari kehidupan batin bangsa Indonesia. Secara umum, pendidikan
Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan menjadi dua periode, yaitu masa
penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang.[7]
Pada abad 17 M hingga 18 M, bidang
pendidikan di Indonesia berada dalam pengawasan dan kontrol VOC, VOC ini adalah
sebuah kongsi/perusahaan dagang milik Belanda. Saat itu kondisi pendidikan di
Indonesia hanya bertujuan untuk kepentingan komersial dan untuk memenuhi
kebutuhan para pegawai VOC. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, Jepang
mendekati umat Islam untuk membantu dalam memenangkan perangnya. Karena
mempunyai kepentingan yang sama untuk mengusir bangsa Barat maka umat Islam
Indonesia dengan Jepang saling bekerja sama, sehingga Jepang menerapkan
kebijakan terkait dengan pendidikan yang memiliki implikasi luas bagi sistem
pendidikan di era kemerdekaan.
Namun demikian, semua penjajah itu
pada intinya sama. Mereka tidak senang jika pendidikan Islam berkembang.
Melihat realitas pendidikan Islam saat itu yang dikuasai kaum penjajah, maka
banyak kaum cendikia muslim Indonesia yang belajar di Timur Tengah dan ada juga
yang merelakan ibadah haji ke Mekkah yang kemudian bermukim di sana dalam kurun
waktu yang lama, mereka merasa tergugah untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan
dalam bidang pendidikan. Dan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda maupun Jepang, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan
kecerdasan melalui lembaga pendidikan.
Dengan demikian awal mula Muhammadiyah didirikan bukan
sebagai organisasi politik, melainkan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan
yang bergerak dibidang pendidikan dan dakwah. K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan
sekolah guru yang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweek School
Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweek School Istri Muhammadiyah), di
sekolah inilah K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan
cita-cita pembaharuannya.
Sistem pendidikan yang hendak dibangun K.H. Ahmad Dahlan adalah
pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan
sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang cukup langka
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini beliau
menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara
integral. Mencoba menggunakan aspek positif sistem pendidikan barat, walaupun
sosio kultural masyarakat belum siap.
Alasan K.H. Ahmad Dahlan mencoba menggunakan bentuk pendidikan dari
luar, banyak diilhami oleh ajaran Rasulullah SAW: “Hendaknya pelajari bahasa
musuhmu agar tidak diperdaya musuhmu”. Serta sabda Nabi : “tuntutlah ilmu walau
sampai ke negeri Cina”.[8]
Dengan demikian, visi pendidikan yang digagas K.H.
Ahmad Dahlan bersama organisasi Muhammadiyah jelas tercermin dari ide-ide besar
yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan yang ingin menciptakan
ulama yang intelek. Hal ini sejalan dengan nasehat yang sering disampaikan
dihadapan murid-muridnya: “Dadiyo
Kyai sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu
nyambut gawe kanggo Muhammadiyah (jadilah ulama yang maju danjangan lelah dalam
bekerja untuk Muhammadiyah.”[9]
Jadi, ulama maju ialah ulama yang dapat mengikuti
perkembangan zaman, melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, di
samping ilmu agama yang sudah dimiliki. Sedangkan yang dimaksud untuk
Muhammadiyah ialah bekerja untuk masyarakat luas karena Muhammadiyah didirikan
untuk memperbaiki masyarakat. Hal itu merupakan visi pendidikan yang diagagas
Muhammadiyah, tercermin dari ide-ide dasar sebagai cita-cita penyelenggaraan
pendidikan. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang dibangun Muhammadiyah
berupaya untuk mengintegrasikan antara sistem pendidikan pesantren dan sekuler
dalam bentuk lembaga sekolah.
Secara garis besar pembaharuan-pembaharuan yang
dilakukan para ulama dalam bidang pendidikan meliputi :
1.
Perubahan sistem pengajaran dari perorangan menjadi
sistem klasikal
2.
Pemberian pengetahuan umum
Pengajaran dari perorangan adalah sistem yang dilakukan tanpa terikat pada waktu, tempat dan keadaan.
Maksudnya pembelajaran dapat dilakukan dimana saja saat ada kesempatan, sedangkan
sistem klasikal itu guru/kyai mengajar sekelompok murid dalam jumlah yang
banyak, tidak hanya individual saja. Jika dahulu di pondok pesantren tidak ada
sistem kelas, tidak ada ujian atau pengontrolan (evaluasi belajar) kemajuan
santri tidak ada batas lamanya belajar di kelas. Berbeda dengan sekarang sistem
pendidikan dirubah menjadi sistem berkelas. Di masa ini dikenal dengan
madrasah, yang khusus berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
Pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang dunia
pendidikan dapat dilihat dari pesan terakhirnya saat memberikan pidato
dalam rapat tahunan Muhammdiyah[10]:
1. Pengetahuan tertinggi adalah
pengetahuan tentang kesatuan hidup dan dicapai dengan sikap kritis-terbuka
menggunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran ahli dengan dasar hati
yang suci.
2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup
manusia.
3. Ilmu logika adalah pendidikan
tertinggi akal manusia yang tercapai jika manusia menyerahkan diri pada
petunjuk Allah.
Dari pemikiran yang ia sampaikan dapat ditarik sebuah
benang merah yang menjadi
dasar dan pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, yakni
adanya sebuah integrasi atau hubungan pendidikan agama dan pendidikan non agama
di dalam sebuah lembaga pendidikan.
Gagasan K.H. Ahmad Dahlan tentang kependidikan dapat
dilihat pula dari tujuan pendidikan Muhammadiyah yang dipetik dari gagasan
asli Ahmad Dahlan : [11]
1. Pendidikan moral atau akhlak sebagai
usaha menanamkan karakter manusia yang baik.
2. Pendidikan individu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh, yang memiliki keseimbangan
antara mental dan jasmani, keyakinan dan intelektualitas, perasaan dan akal
pikiran, serta antara dunia dan akhirat.
3. Pendidikan kemasyarakatan sebagai
usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Dengan demikian, dapat diringkas cita-cita pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan adalah melahirkan manusia yang berpandangan luas dan memiliki
pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat
umum.
K.H. Ahmad Dahlan memberi pesan kepada umat Islam
secara keseluruhan, dalam pesannya itu beliau menyampaikan: “kita manusia hidup
di dunia ini hanya sekali, akan mendapatkan kebahagiaankah atau
kesengsaraankah?” Lalu beliau mengutip ujaran klasik yang artinya manusia itu
semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama, yaitu orang-orang yang
berilmu. Dan ulama itupun dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan
mereka yang beramal pun dalam kekhawatiran, kecuali mereka yang ikhlas.[12]
Jadi, orang yang berilmu jangan segan-segan untuk mengamalkan ilmunya kepada
orang lain, amalkanlah dengan rasa iklhas.
Pembaharuan sistem pendidikan yang dilakukan K.H.
Ahmad Dahlan mengalami perkembangan, bentuk pendidikan dari model pondok
pesantren dengan menerapkan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi
madrasah atau sekolah dengan metode belajar secara klasikal. Tujuan pendidikan
lebih difokuskan pada pembentukan akhlak manusia. Metode
sorogan adalah bentuk pengajaran yang bersifat individual, di mana para santri
satu persatu datang menghadap kyai atau para pembantunya dengan membawa kitab
tertentu, metode
bandongan adalah sistem pengajaran yang diberikan secara berkelompok yang
diikuti oleh seluruh santri. Pada sistem bandongan atau weton ini dilakukan seperti kuliah
terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih.
Dengan pelaksanaan pendidikannya didasarkan pada
Al-Quran dan Sunnah. Dalam pandangan Islam paling tidak ada dua sisi tugas
manusia diciptakan, yaitu sebagai hamba Allah dan wakil Allah di bumi. Dalam
proses penciptaan manusia, manusia diberi Allah ruh dan akal. Maka, akal
merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dikembangkan guna
menyusun kerangka teoritis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara
vertikal maupun horizontal.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, K.H. Ahmad
Dahlan merancang materi yang akan diajarkan berupa pengajaran Al-Qur’an dan
Hadist, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Dengan
pengembangan kurikulum melalui dua jalan, yaitu mendirikan tempat-tempat
pendidikan di mana ilmu agama dan ilmu umum diajarkan bersama-sama, dan yang
kedua memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum yang
sekuler. [13]
Sehingga pembuatan muatan kurikulum dalam sekolah
Muhammadiyah lebih memberikan muatan yang besar kepada ilmu-ilmu umum,
sedangkan dalam aspek keagamaan minimal dapat melaksanakan ibadah shalat lima
waktu, shalat-shalat sunah, membaca Al-Qur’an dan menulis huruf Al-Qur’an serta
mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
Proses pembelajaran agama sekolah
Muhammadiyah diselenggarakan secara kontekstual dan dinamis, cocok dan
sejalan dengan arah dasar pendidikan Muhammadiyah warisan K.H. Ahmad
Dahlan. Yaitu proses seseorang mentransformasikan diri secara substantif, sehingga
peserta didik bisa menjadi manusia yang lebih religius dan humanis. Dan pola
pemikiran K.H. Ahmad Dahlan ini ternyata masih efektif diterapkan sampai
sekarang untuk mendidik dan mengembangkan nilai keberagamaan anak
didik.
Dengan demikian, sejak berdirinya pendidikan
Muhammadiyah lebih mengedapankan kreatifitas. Hal ini sejalan dengan jiwa
pembaharuan yang dicita-citakan yaitu mengembangkan nalar, menolak bid’ad,
kurafat, taklid, dan mengutamakan ijtihad. Dari sini diharapkan lulusan dari
lembaga pendidikan Muhammadiyah mempunayai wawasan yang luas, tidak kolot, serta menjadi individu yang bebas
dengan kreatifitasnya.[14]
Dalam mengajarkan pengetahuan agama
Islam secara umum maupun membaca Al-Qur’an, K.H. Ahmad Dahlan menerapkan metode
pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tidak memaksa tetapi
dengan tuntunan, sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya.
Dan metode itu tidak hanya menekankan pada pemahaman secara teoritis namun juga
sangat memperhatikan pada hal yang bersifat praktis.
Maksudnya agar materi yang diajarkan
dalam mengajar dan berdakwah tidak hanya sekedar dipahami, tapi juga dihayati
dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan pembelajaran
dilaksanakan dengan cara penciptaan suasana belajar yang kondusif. Sehingga
secara signifikan berpengaruh terhadap pembentukan kesadaran keberagamaan para
siswa
Sementara itu, jalur pendidikan yang dikembangkan warga
Muhammadiyah meliputi jalur sekolah atau madrasah yang terdiri dari Madrasah
Mualimin Muhammadiyah dan sekolah umum dengan menambah pelajaran agama Islam
berkisar antara 10-15% dalam kurikulumnya. Sedangkan jalur luar sekolah
diselenggarakan kursus-kursus yang khusus memberikan pelajaran agama Islam.
Pendidikan agama Islam yang diberikan pada sekolah-sekolah
Muhammadiyah terangkum dalam mata pelajaran Ke-Muhammadiyah-an. Hal ini
dibuktikan Deliar Noer dengan data yang dikemukakan, bahwa pada tahun 1925
dalam bidang pendidikan Muhammadiyah memiliki 8 Hollands School, sebuah sekolah
guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun, sebuah schakelschool, yang
seluruhnya sebanyak 119 orang guru dan 4000 murid. Pada tahun 1929, organisasi
ini telah mempublikasikan penerbitan sejumlah 700.000 buku dan brosur, kemudian
pada tahun 1938 telah memliki 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah.[15]
Terlihat dari data-data tersebut, sekolah Muhammadiyah
lebih menekankan pengembangan ilmu umum seperti yang dijelaskan diatas. Menurut
Amir Hamza, tujuan umum pendidikan Muhammadiyah yang dicetuskan K.H. Ahmad
Dahlan mencakup :
a. Baik budi, alim dalam beragama
b. Luas pandangan/wawasan, alim dalam
ilmu-ilmu umum
c. Bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakat.
Dengan demikian sebagai seorang
pemikir serta pelaku yang merealisaikan gagasannya yang mendirikan sendiri
model lembaga pendidikan yang diinginkannya yaitu sekolah yang menerapkan
pengajaran ilmu agama Islam sekaligus ilmu pengetahuan umum, maka K.H. Ahmad
Dahlan menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan Islam yang dilakukan secara
modern dan professional, tidak hanya sebagai penyangga nilai-nilai Islam tetapi
diharapkan lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi
dinamika perkembangan zaman.[16]
Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Oleh karena itu, berkat kesabaran
dan keuletan dalam memerangi kebodohan di tengah masyarakat yang terbelenggu
oleh ketertindasan, pada akhirnya membuahkan hasil yang gemilang. Hal ini terbukti
dengan perkembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah yang lambat laun mengalami
kemajuan yang sangat signifikan.
[2] Zamah Sari, dkk, Kemuhammadiyahan (Jakarta : uhamka
press, 2012) hal.32.
[3] Sidi Ibrahim. Pengaruh timbal balik
antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta : Gunung Tiga, 1981) hal.120.
[7] Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik
dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta : Best Media Utama, 2010) hlm.104.
[8] Ibid; hlm.117.
[15] Heri Sucipto.
2010. K.H. Ahmad Dahlan sang Pencerah,
Pendidikan, dan Pendiri Muhammadiyah. Jakarta : Best Media Utama, hlm.122.
[16] Imam Tholkah. Op.
Cit. 2004. hlm.4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar