Kamis, 18 Februari 2016

Tugas Kemuhammadiyahan -K.H. Ahmad Dahlan dan Pemikirannya tentang Pendidikan

      K. H. Ahmad Dahlan dan Pemikirannya Tentang
Pendidikan*
Pendidikan merupakan hal terpenting pada setiap orang karena dengan pendidikan orang bisa mencapai kualitas dalam hidupnya. Dan dengan pendidikan pula kita bisa menciptakan manusia-manusia yang berakhlak baik dan cerdas. Kini pendidikan dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Banyak perubahan yang terjadi dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, banyak pula tokoh-tokoh yang memperjuangkan pendidikan.
Salah satu tokohnya adalah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah seorang tokoh pergerakan nasional yang mempunyai peranan penting bagi bangsa Indonesia. Dan juga sebagai pelopor lahirnya organisasi Muhammadiyah, yang menyerukan agar kaum muslim kembali pada Islam yang murni dan menafsirkan unsur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam. Semenjak didirikan, oragnisasi ini banyak  bergerak di bidang pendidikan.
K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwis, lahir di Yogyakarta 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta23 Februari 1923.[1] Nama Ahmad Dahlan diperoleh dari gurunya pada ijazah kelulusan di Mekkah.   Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Di sinilah K.H. Ahmad Dahlan menuntut ilmu agama Islam, seperti kiraat, tauhid, fiqih, tasawuf, ilmu mantik, dan ilmu falak.[2] Kiraat adalah ilmu yang berkaitan dengan Al Qur’an, yang mengajarkan bagaimana menyebut ayat-ayat Al Qur’an. Tauhid adalah konsep agama Islam yang menyatakan Allah itu satu (esa). Ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari hukum Allah yang digali dari dalil-dalil yang jelas. Ilmu tasawuf ini berhubungan dengan akhlak dan jiwa manusia. Ilmu mantik disebut juga ilmu logika, sedangkan ilmu falak itu seperti ilmu astronomy yang mempelajari lintasan-lintasan benda langit.
Sepulangnya dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar santri-santri di kampungnya. Dan gelar Kyai Haji pun serta merta disandangnya, pada tahun 1896. Karena kepandaian dan ilmunya lah yang menjadikan ia pantas mendapatkan gelar itu.
Melihat kebanyakan rakyat mederita, tak berpendidikan dan miskin. Dan dunia pendidikan juga telah dipengaruhi oleh penjajah demi kepentingan mereka dan kelangsungan hidup mereka di bumi pertiwi. Sehingga rakyat memandang bahwa sekolah sebagai tradisi umat kafir dan Kristiani. Dari hal itu K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk melakukan pembebasan umat dari kebodohan dan kemiskinan. Karena kebodohan dan kemiskinan inilah yang membawa umat menjadi menderita, dan tidak mampu berpikir secara rasional, sehingga umat yang miskin percaya bahwa penyakit yang dideritanya adalah akibat “lelembut” yang marah.
Inilah yang melatarbelakangi perlunya didirikan lembaga-lembaga pendidikan melalui wadah organisasi Muhammadiyah. Menurut Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupannya pada masa depan. Dengan demikian bersama organisasi Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan menekankan perbaikan hidup beragama dan menggiatkan amal-amal pendidikan dan sosial.[3]
Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah kembali kepada Al-Qur'an dan hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif (memahami isi ajaran Islam secara kesluruhan) agar tidak salah tafsir sehingga benar-benar berada pada Islam yang hakiki dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis juga dapat dilakukan melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis untuk merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).[4]

K.H. Ahmad Dahlan pun mendirikan rumah sakit dan sekolah gratis. Sekolah yang pertama didirikannya bertempat di ruang tamu rumahnya sebagai ruang kelas. Fungsi lembaga pendidikan ciptaan Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut : [5]
1.      Sebagai alat dakwah, baik ke dalam maupun ke luar anggota organisasi Muhammadiyah.
2.      Tempat pembibitan dan pembinaan kader, yang dilaksanakan secara sistematis dan selektif sesuai dengan kebutuhan.
3.      Merupakan wahana untuk melaksanakan amal para anggota organisasi.
4.      Mensyukuri nikmat Allah, artinya apa pun kemampuan anak-anak, pendidik harus memberi kesempatan untuk berkembang, menjaga, dan merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Jika dulu wawasan masyarakat pribumi sangat terbatas, karena mereka hanya dididik membaca dan menulis. Dan ilmu pengetahuan umum tidak diajarkan di pesantren,[6] sekarang di sekolah ini diajarkan bukan hanya ilmu agama saja, melainkan ilmu-ilmu umum juga seperti berhitung, ilmu bumi (suatu istilah untuk kumpulan cabang-cabang ilmu yang mempelajari bumi) dan ilmu yang mempelajari tubuh manusia (anatomi). Mengapa pembelajaran pada sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum? Ini dikarenakan pendidikan di Indonesia saat itu terpecah menjadi dua, yakni pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan agama dan pendidikan barat yang sekuler (memisahkan urusan agama dengan ilmu umum). Padahal, pendidikan yang bermakna itu harus sejalan dengan ilmu lain.
Dua sistem pedidikan yang berbeda ini menyebabkan pendidikan yang makin terpisah. Pendidikan dalam pesantren yang terlalu menutup diri dari dunia luar mengakibatkan semakin ketinggalan zaman dan wawasan yang diperoleh tidak berkembang karena hanya sesuai dengan wawasan yang dimiliki oleh sang guru saja, tidak dinekali dengan pemikiran yang lain. Di sisi lain, pendidikan barat sama sekali tidak memasukkan pendidikan keagamaan ke dalamnya. Sekolah-sekolah ini menjadi sebuah masyarakat tersendiri yang terlepas dari kehidupan batin bangsa Indonesia. Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan menjadi dua periode, yaitu masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang.[7]
Pada abad 17 M hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia berada dalam pengawasan dan kontrol VOC, VOC ini adalah sebuah kongsi/perusahaan dagang milik Belanda. Saat itu kondisi pendidikan di Indonesia hanya bertujuan untuk kepentingan komersial dan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, Jepang mendekati umat Islam untuk membantu dalam memenangkan perangnya. Karena mempunyai kepentingan yang sama untuk mengusir bangsa Barat maka umat Islam Indonesia dengan Jepang saling bekerja sama, sehingga Jepang menerapkan kebijakan terkait dengan pendidikan yang memiliki implikasi luas bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Namun demikian, semua penjajah itu pada intinya sama. Mereka tidak senang jika pendidikan Islam berkembang. Melihat realitas pendidikan Islam saat itu yang dikuasai kaum penjajah, maka banyak kaum cendikia muslim Indonesia yang belajar di Timur Tengah dan ada juga yang merelakan ibadah haji ke Mekkah yang kemudian bermukim di sana dalam kurun waktu yang lama, mereka merasa tergugah untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang pendidikan. Dan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda maupun Jepang, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan.
Dengan demikian awal mula Muhammadiyah didirikan bukan sebagai organisasi politik, melainkan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak dibidang pendidikan dan dakwah. K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweek School Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweek School Istri Muhammadiyah), di sekolah inilah K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Sistem pendidikan yang hendak dibangun K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini beliau menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral. Mencoba menggunakan aspek positif sistem pendidikan barat, walaupun sosio kultural masyarakat belum siap.
Alasan K.H. Ahmad Dahlan mencoba menggunakan bentuk pendidikan dari luar, banyak diilhami oleh ajaran Rasulullah SAW: “Hendaknya pelajari bahasa musuhmu agar tidak diperdaya musuhmu”. Serta sabda Nabi : “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.[8]
Dengan demikian, visi pendidikan yang digagas K.H. Ahmad Dahlan bersama organisasi Muhammadiyah jelas tercermin dari ide-ide besar yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan yang ingin menciptakan ulama yang intelek. Hal ini sejalan dengan nasehat yang sering disampaikan dihadapan murid-muridnya: “Dadiyo Kyai sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah (jadilah ulama yang maju danjangan lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah.”[9]
Jadi, ulama maju ialah ulama yang dapat mengikuti perkembangan zaman, melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping ilmu agama yang sudah dimiliki. Sedangkan yang dimaksud untuk Muhammadiyah ialah bekerja untuk masyarakat luas karena Muhammadiyah didirikan untuk memperbaiki masyarakat. Hal itu merupakan visi pendidikan yang diagagas Muhammadiyah, tercermin dari ide-ide dasar sebagai cita-cita penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang dibangun Muhammadiyah berupaya untuk mengintegrasikan antara sistem pendidikan pesantren dan sekuler dalam bentuk lembaga sekolah.
Secara garis besar pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan para ulama dalam bidang pendidikan meliputi :
1.        Perubahan sistem pengajaran dari perorangan menjadi sistem klasikal
2.        Pemberian pengetahuan umum
Pengajaran dari perorangan adalah sistem yang dilakukan tanpa terikat pada waktu, tempat dan keadaan. Maksudnya pembelajaran dapat dilakukan dimana saja saat ada kesempatan, sedangkan sistem klasikal itu guru/kyai mengajar sekelompok murid dalam jumlah yang banyak, tidak hanya individual saja. Jika dahulu di pondok pesantren tidak ada sistem kelas, tidak ada ujian atau pengontrolan (evaluasi belajar) kemajuan santri tidak ada batas lamanya belajar di kelas. Berbeda dengan sekarang sistem pendidikan dirubah menjadi sistem berkelas. Di masa ini dikenal dengan madrasah, yang khusus berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
Pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang dunia pendidikan dapat dilihat dari pesan terakhirnya saat memberikan pidato dalam rapat tahunan Muhammdiyah[10]:
1.      Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup dan dicapai dengan sikap kritis-terbuka menggunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran ahli dengan dasar hati yang suci.
2.      Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia.
3.      Ilmu logika adalah pendidikan tertinggi akal manusia yang tercapai jika manusia menyerahkan diri pada petunjuk Allah.
Dari pemikiran yang ia sampaikan dapat ditarik sebuah benang merah yang menjadi
dasar dan pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, yakni adanya sebuah integrasi atau hubungan pendidikan agama dan pendidikan non agama di dalam sebuah lembaga pendidikan.
Gagasan K.H. Ahmad Dahlan tentang kependidikan dapat dilihat pula dari tujuan pendidikan Muhammadiyah yang dipetik dari gagasan asli Ahmad Dahlan : [11]
1.      Pendidikan moral atau akhlak sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik.
2.      Pendidikan individu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh, yang memiliki keseimbangan antara mental dan jasmani, keyakinan dan intelektualitas, perasaan dan akal pikiran, serta antara dunia dan akhirat.
3.      Pendidikan kemasyarakatan sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Dengan demikian, dapat diringkas cita-cita pendidikan K.H. Ahmad Dahlan adalah melahirkan manusia yang berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat umum.
K.H. Ahmad Dahlan memberi pesan kepada umat Islam secara keseluruhan, dalam pesannya itu beliau menyampaikan: “kita manusia hidup di dunia ini hanya sekali, akan mendapatkan kebahagiaankah atau kesengsaraankah?” Lalu beliau mengutip ujaran klasik yang artinya manusia itu semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itupun dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramal pun dalam kekhawatiran, kecuali mereka yang ikhlas.[12] Jadi, orang yang berilmu jangan segan-segan untuk mengamalkan ilmunya kepada orang lain, amalkanlah dengan rasa iklhas.
Pembaharuan sistem pendidikan yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan mengalami perkembangan, bentuk pendidikan dari model pondok pesantren dengan menerapkan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi madrasah atau sekolah dengan metode belajar secara klasikal. Tujuan pendidikan lebih difokuskan pada pembentukan akhlak manusia. Metode sorogan adalah bentuk pengajaran yang bersifat individual, di mana para santri satu persatu datang menghadap kyai atau para pembantunya dengan membawa kitab tertentu, metode bandongan adalah sistem pengajaran yang diberikan secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Pada sistem bandongan atau weton ini dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih.
Dengan pelaksanaan pendidikannya didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Dalam pandangan Islam paling tidak ada dua sisi tugas manusia diciptakan, yaitu sebagai hamba Allah dan wakil Allah di bumi. Dalam proses penciptaan manusia, manusia diberi Allah ruh dan akal. Maka, akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal.   
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan merancang materi yang akan diajarkan berupa pengajaran Al-Qur’an dan Hadist, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Dengan pengembangan kurikulum melalui dua jalan, yaitu mendirikan tempat-tempat pendidikan di mana ilmu agama dan ilmu umum diajarkan bersama-sama, dan yang kedua memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum yang sekuler. [13]
Sehingga pembuatan muatan kurikulum dalam sekolah Muhammadiyah lebih memberikan muatan yang besar kepada ilmu-ilmu umum, sedangkan dalam aspek keagamaan minimal dapat melaksanakan ibadah shalat lima waktu, shalat-shalat sunah, membaca Al-Qur’an dan menulis huruf Al-Qur’an serta mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
Proses pembelajaran agama sekolah Muhammadiyah diselenggarakan secara kontekstual dan dinamis, cocok dan sejalan  dengan arah dasar pendidikan Muhammadiyah warisan K.H. Ahmad Dahlan. Yaitu proses seseorang mentransformasikan diri secara substantif, sehingga peserta didik bisa menjadi manusia yang lebih religius dan humanis. Dan pola pemikiran K.H. Ahmad Dahlan ini ternyata masih efektif diterapkan sampai sekarang untuk  mendidik dan mengembangkan nilai keberagamaan  anak didik.
Dengan demikian, sejak berdirinya pendidikan Muhammadiyah lebih mengedapankan kreatifitas. Hal ini sejalan dengan jiwa pembaharuan yang dicita-citakan yaitu mengembangkan nalar, menolak bid’ad, kurafat, taklid, dan mengutamakan ijtihad. Dari sini diharapkan lulusan dari lembaga pendidikan Muhammadiyah mempunayai wawasan yang luas, tidak  kolot, serta menjadi individu yang bebas dengan kreatifitasnya.[14]
Dalam mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Al-Qur’an, K.H. Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tidak memaksa tetapi dengan tuntunan, sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Dan metode itu tidak hanya menekankan pada pemahaman secara teoritis namun juga sangat memperhatikan pada hal yang bersifat praktis.
Maksudnya agar materi yang diajarkan dalam mengajar dan berdakwah tidak hanya sekedar dipahami, tapi juga dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan cara penciptaan suasana belajar yang kondusif. Sehingga secara signifikan berpengaruh terhadap pembentukan kesadaran keberagamaan para siswa
Sementara itu, jalur pendidikan yang dikembangkan warga Muhammadiyah meliputi jalur sekolah atau madrasah yang terdiri dari Madrasah Mualimin Muhammadiyah dan sekolah umum dengan menambah pelajaran agama Islam berkisar antara 10-15% dalam kurikulumnya. Sedangkan jalur luar sekolah diselenggarakan kursus-kursus yang khusus memberikan pelajaran agama Islam.
Pendidikan agama Islam yang diberikan pada sekolah-sekolah Muhammadiyah terangkum dalam mata pelajaran Ke-Muhammadiyah-an. Hal ini dibuktikan Deliar Noer dengan data yang dikemukakan, bahwa pada tahun 1925 dalam bidang pendidikan Muhammadiyah memiliki 8 Hollands School, sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun, sebuah schakelschool, yang seluruhnya sebanyak 119 orang guru dan 4000 murid. Pada tahun 1929, organisasi ini telah mempublikasikan penerbitan sejumlah 700.000 buku dan brosur, kemudian pada tahun 1938 telah memliki 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah.[15]
Terlihat dari data-data tersebut, sekolah Muhammadiyah lebih menekankan pengembangan ilmu umum seperti yang dijelaskan diatas. Menurut Amir Hamza, tujuan umum pendidikan Muhammadiyah yang dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan mencakup :
a.       Baik budi, alim dalam beragama
b.      Luas pandangan/wawasan, alim dalam ilmu-ilmu umum
c.       Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.
Dengan demikian sebagai seorang pemikir serta pelaku yang merealisaikan gagasannya yang mendirikan sendiri model lembaga pendidikan yang diinginkannya yaitu sekolah yang menerapkan pengajaran ilmu agama Islam sekaligus ilmu pengetahuan umum, maka K.H. Ahmad Dahlan menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan Islam yang dilakukan secara modern dan professional, tidak hanya sebagai penyangga nilai-nilai Islam tetapi diharapkan lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika perkembangan zaman.[16] Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Oleh karena itu, berkat kesabaran dan keuletan dalam memerangi kebodohan di tengah masyarakat yang terbelenggu oleh ketertindasan, pada akhirnya membuahkan hasil yang gemilang. Hal ini terbukti dengan perkembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah yang lambat laun mengalami kemajuan yang sangat signifikan.







*Imma Umiarsih, 1201045272, 3B-PGSD.
[2] Zamah Sari, dkk, Kemuhammadiyahan (Jakarta : uhamka press, 2012) hal.32.
[3] Sidi Ibrahim. Pengaruh timbal balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau,  (Jakarta : Gunung Tiga, 1981) hal.120.
[5] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta. 2009) hlm.130.
[6] Mu’arif, Benteng Muhammadiyah, (Yogyakarta : Surya Sarana Grafita. 2010) hlm.103.
[7] Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta : Best Media Utama, 2010) hlm.104.
[8] Ibid; hlm.117.
[12] Deni Al Asy’ari, Selamatkan Muhammadiyah, (Yogyakarta:Tajdid Press, 2009)  hlm.iii.
[13] Hery Sucipto, Op. Cit. 2010. hlm.119
[14] Imam Tholkah. Membuka Jendela Pendidika.  (Jakarta : Raja Grafindo, 2004).  hlm.VIII.
[15] Heri Sucipto. 2010. K.H. Ahmad Dahlan sang Pencerah, Pendidikan, dan Pendiri Muhammadiyah. Jakarta : Best Media Utama, hlm.122.
[16] Imam Tholkah. Op. Cit. 2004. hlm.4. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar